Pesan Singkat : Teruntuk yang Hilang dari Seimbang
Pesan Singkat : Teruntuk yang Hilang dari Seimbang
Kedamaian itu hadir bersama dinding
kamar yang berdiri kokoh melindungiku dari segala ketidakpastian diluar sana.
Dinding ini terlalu setia mendengar setiap lagu yang ku putar ditengah
malam-malam yang sunyi. Juga mendengar bunyi ketikan jari jemariku yang
menuliskan kisah-kisah tak berujung. Semakin hari dinding ini semakin dingin,
ia mewakili perasaanku.
Hati dan pikiran harus seimbang.
Tidak bisa terlalu banyak menggunakan logika tidak juga bisa terlalu banyak
menggunakan perasaan.
Namun, aku sedang tidak seimbang.
Aku baru saja akan memulai lagi keseimbangan
itu dengan menambah sedikit ruang untuk perasaanku bekerja. Logikaku sudah
terlalu banyak mengambil bagian dalam hidupku. Dalam menentukan keputusan,
dalam berencana, dalam bermimpi, dalam ambisi, dan hampir dalam segala hal. Aku
merasa tidak adil dengan hati kecilku. Kenapa tidak sama ukurannya dalam melibatkan
hati kecil ini ? aku tidak adil pada diriku sendiri.
Sebenarnya, ketidakadilan ini
adalah lebih baik bagiku. Pikirku, sebelum saat ini. Sebenarnya juga, aku hanya
takut. Takut tersakiti, kecewa, lalu mati. Perasaan ini adalah kelemahanku yang
paling lemah. Biarkan semua musuh tahu tentang kelemahanku yang satu ini. Pun
aku tidak akan menggunakan perasaan terlalu banyak. Aku sudah meninggalkan
semua perasaan ini pada peti mati dan ku kubur dalam-dalam di dasar lautan yang
paling gelap. Mungkin hanya seorang yang paling tangguh yang dapat menemukannya
dan mengembalikannya kedalam jiwaku.
Hidup harus seimbang, selalu
kalimat itu muncul dibenakku, seakan menasehati diriku yang mulai kembali keras
kepala. Terlalu berambisi untuk mencapai mimpi adalah suatu hal yang paling
menakutkan. Aku dan logikaku menangkap itu sebagai hal yang selalu tertanam
dalam pikiranku. Setiap bangun tidur, selalu banyak pertanyaan yang muncul
menghantamku. Akan jadi apa hari ini ? Rencana apa untuk hari ini? Langkah apa
yang akan dilakukan ? Sudah evaluasi dari kesalahan kemarin ? Masih stuck di
tempat ini ? Tidakkah kamu lihat orang lain yang sudah jauh melangkah ? Bahkan
orang yang kemarin dibelakangmu kini ia melejit jauh meninggalkanmu. Kamu ini
apa ? Dan beribu pertanyaan lain yang terus mencecarku hingga malam tiba. Yup,
aku tidur diantar pertanyaan-pertanyaan menggelisahkan yang pagi tadi aku
terima. Selalu begitu.
Sebetulnya, perkara hati, aku
bukannya sama sekali tidak menggunakannya. Aku bukan manusia tanpa rasa,
walaupun rasaku sudah setengah mati. Aku masih
menggunakannya. Saat melihat orang yang kesusahan, aku bantu. Aku iba.
Saat melihat pot tanaman yang terjatuh, aku rapihkan. Aku miris melihatnya.
Saat melihat anak muda yang ngebut-ngebutan dijalan, aku kesal, merasa
terganggu. Pun dengan aktivitas lainnya, perasaan ini berfungsi, seperti merasa
bertanggungjawab saat melihat seorang tua renta yg ingin menyebrang atau merasa
berhati-hati saat membawa satu kilo telur didalam keranjang sepeda.
Ya, seperti itu saja. Dan cukup
sampai pada bagian itu saja aku menggunakan perasaanku. Perihal menjawab
pertanyaan lain terkait perasaan, jiwaku mulai menolak. Untuk menuliskan contoh
pertanyaannya pun, aku mulai merasa mulai. Hmmm baiklah pertanyaan sebutar
kekasih hati, atau kok kuat menjomblo terus ? kamu sama dia jadi gimana
ceritanya ? masih kontekan ? kira-kira kita bisa gak ya lebih dari ini ? rindu
itu menurut kamu apa ? kamu capek gak sih ngelakuin segala aktivitas sendirian
? dan banyak lagi pertanyaan yang justru membuatku lemah. Kepalaku pening dan
ingin meledak mendengar itu. Aku hanya ingin tenang, dan dalam kesendirian ini
aku ‘cukup’ tenang. Aku tidak mau terlibat dengan hubungan aneh yang justru
harus membuatku bertanggung jawab atas perasaan orang lain. Yang justru membuat
aku memberi sebagian waktu dalam hidupku untuk orang lain yang belum tentu
takdirku. Tidak mau dan tidak ingin mengulang itu lagi.
Kata orang, kalau kita hanya
menunggu, maka kita tidak akan pernah menemukan. Kita harus saling mencari lalu
saling menemukan. Tapi untukku menunggu itu adlah pencarian yang sesungguhnya,
sebab dalam penantian ini setidaknya aku ingin mencari dulu jati diriku yang
sebenarnya. Mencari dulu apa yang harus diperbaiki dalam diri ini. Mencari dulu
hal-hal apa yang menjadi arti dalam hidupku. Setelah itu, dengan izin Tuhan,
aku yakin ‘menemukan’ bukanlah hal yang sulit.
Perihal seimbang, pun sebenarnya
sulit diukur keseimbangan pada titik mana yang dimaksud. Akhirnya, itu hanya
sebuah persepsi. Pun saat aku bilang aku sedang tidak seimbang, mungkin itu
bukan arti yang sebenarnya, sebab kita tidak memiliki ukuran yang baku.
Mungkin, kita hanya terlalu lelah dan butuh untuk bernafas lebih lega sejenak.
Karena pada dasarnya, walaupun terkadang hati dan pikiran itu sulit untuk
sinkron, tapi sesungguhnya mereka berjalan bersama, tidak pernah saling
meninggalkan, tidak pernah saling membunuh.
Aku paling suka dengan " aku sedang tidak seimbang" jadi merasa hehehe...
ReplyDeleteSo deep :'((
ReplyDeleteTerlalu lelah dan butuh waktu. Segalanya butuh waktu terkusus ketika dalam keadaan 'tidak', tidak seimbang, tidak senang dan lainya.
ReplyDeleteIt's ok not to be ok, mungkin bisa menjadi penghibur ku dikala merasa tak seimbang, tak apa merasa tak baik-baik saja, manusiawi tapi jangan berlarut. Mulai selesai dengan diri sendiri, memaafkan diri sendiri, mencintai diri sendiri.
ReplyDeleteNice tulisan kak, semangat hehe😁