Berdamai Dengan Diri Sendiri

Berdamai dengan Diri Sendiri

Aku pernah begitu khawatir tentang hari-hari yang akan ku jalani. Setengah jiwaku bertahan di dalam raga yg tak berdaya ini. Sementara separuh lainnya mengembara pada utopia.

Luka ini masih terlalu perih untuk disapa angin sore ini. Taman seolah menjadi tempat paling tepat untukku berduka. Mengenang segenap kegagalan akibat terlalu lemah menghadapi kerasnya dunia. Juga akibat terlalu bergantung pada manusia lain.

Pikiranku terlempar jauh ke 2 tahun yang lalu. Dengan menggenggam toga, aku berlari menuju taman ini. Sebuah taman yg cukup sepi namun justru menenangkan saat itu. Tempat paling pas untukku berlari dari kerumunan orang-orang yang sedang berbahagia kala itu.

Sengaja kutinggalkan gawaiku agar tak ku dapati telepon masuk dari keluarga atau teman-teman terdekatku. Semenjak itu pula aku jadi sangat membenci telepon genggamku itu. Karena ia yang dengan tak berperasaan memberiku kabar buruk tentang kematian seseorang.

Toga yang masih ku genggam saat itu berpindah jadi dalam pelukan dadaku. Ku peluk erat dengan isak yang terseguk-seguk. Masih tak bisa ku percaya. Dihari yang seharusnya menyenangkan ini, aku justru menjadi manusia paling menyedihkan. Aku tak rela ! Siapapun orangnya yang telah menabrak mobilmu, aku pastikan dia akan menderita ditanganku !

Aku terus menangis dan merengek-rengek kepada langit siang itu. Tak peduli terik ataupun pepohonan mendengar rengekkanku. Aku hanya ingin semesta tahu bahwa aku teramat menderita. Andai pohon-pohon dan kursi taman mampu membuat waktu berhenti saat itu juga. Andai aku mati saja menjemput dia. Akan lebih bahagia bagiku.

Kepalaku menjadi terasa sangat pening. Leherku sakit. Namun hatiku terlalu lebih mengerikan. Ia terluka parah dan sangat menyedihkan. Bahkan aku tak tahu apa yang akan ku perbuat sesudah ini. Semua rencana seakan runtuh seketika. Rencana mendaftar beasiswa s2 bersama-sama, rencana bekerja di perusahaan multi nasional, rencana menikah, rencana memiliki anak-anak yang lucu. Semua seolah sirna dalam satu hempasan. Aku hilang arah ! Tuhan apa yg harus aku lakukan ! Aku tak tahu kemana diriku akan pergi tanpanya. Aku tak mungkin mampu hidup sendiri ! Aku terus menangis dan merengek semakin kencang, sampai aku terjatuh ke tanah dan air mataku jatuh ke rumput-rumput yang selalu terlihat hijau segar.

Mobil berwarna silver terlihat datang dari kejauhan. Papa dan Mama menemukanku. Mereka membawa tubuhku yang sudah tak berdaya sama sekali ini. Aku dibawa pulang kerumah dengan tangis yang tak henti-hentinya mengalir dari wajahku yabg semakin melemah.

Sore ini, semua kenangan pahit itu kembali menghujam luka-luka yang terasa masih basah ini. Aku akhirnya memang gagal s2 di Eropa, juga bekerja di perusahaan multinasional itu hanyalah mimpi belaka, dan menikah... masih menjadi pertanyaan oaling mengerikan di hidupku. Hampir 3 tahun aku mengidap penyakit mental. Siang tadi sengaja aku tidak kontrol ke dokter. Aku berfikir mungkin dengan mencoba menerima kenyataan dan berdamai dengan diri sendiri akan membuatku lebih mudah untuk sembuh.

Comments

  1. Saya masih nebak-nebak siapa yang meninggal...mungkin kekasihnya kah?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pesan Singkat : Teruntuk yang Hilang dari Seimbang

Refleksi : Karier

Refleksi : Tentang Usia